Senjaku Kelabu Tanpamu..
Aku masih di sini, menikmati senja seperti kebiasaan yang
sangat sering kita lakukan. Namun kini, senjaku tak lagi jinga. Kini senjaku
kelabu, namun tetap ku nikmati. Karna melalui senja-senja ini aku dpat
menikmati kebersamaan kita yang tak bisa lagi kita miliki. Melalui senja ini
aku dapat merasakan hadirmu. Namun seperti senja, hadirmu akan hilang berganti
malam.
Ya, itu yang kurasakan. Ketika aku memiliki mu, aku lupa
bahwa sama halnya dengan aku yang menikmati senja. Jika tak benar-benar kunimati
senja itu sebaik mungkin ia akan cepat hilang berganti malam gelap, tanpa
corak-corak warna idah meski tak terlalu cerah.
Aku, adalah orang yang bodoh. Menyia-nyiakan yang aku
miliki hanya untuk mecari sesuatu yang hanya membuat ku senang sesaat. Pdaahal
nersamanya aku dapatkan tak hanya yang aku inginkan tapi yang aku buthkan.
Bersamanya, kudapati kelamahanku yang disempurnakan olehnya.
Ia tahu aku bukanlah sosok yang begitu sempurna, bahkan
aku sangat jauh dari kata sempurna. Namun ketulusannya, mampu menerimaku apa
adanya. Ia tak menghiraukan kata-kata orang tentang keburukanku, yang ia tau ia
punya rasa sayang yang tulus yang mampu menerimaku apa adanya. Ia seolah ingin
membuktikan bahwa ada sisi lain dari ku yang bisa membungkam perkataan-perkataan
negative orang-orang tentangku. Bahkan aku sendiri tak yakin dengan apa yang ia
fikirkan. Yang aku tahu apa yang orang katakana tentangku hampir sebahagian
benar.
Banyak orang yang berkata aku begitu beruntung bisa
mnedapatkan ketulusanmu, dan kau adalah orang bodoh yang mau memilihku. Namun
kau tetap tak pedulikan itu.kau terus limpahkan aku dengan kasih sayang yang
tulus, perhatian-perhatian kecil namun sering, bahkan banyak orang melihat kau
terlalu memanjakan orang yang salah.
Kita jalani hari-hari kita dengan penuh cerita dan warna,
canda, tawa, berselisih paham, bahkan tak jarang ku teteskan airmatamu. Namun
kita sangat menikmati itu. Aku sangat menikmati rutinitas dan
kebiasaan-kebiasaan kita. Namun, meski begitu aku tetap saja orang yang dengan cap
ketidak sempurnaan itu sering tergoda dengan keindahan-keindahan lain. Padahal
aku memiliki keindahan yang sebenarnya-benarnya indah. Tak jarang aku
menyakitmu, menorah luka dihatimu baik dengan sadar atau dalam ketidak
sadaranku. Tapi kau tetap sabar menghadapiku, kau masih bisa beri senyum
terbaikmu ketika orang-orang menyeletuk tentang tingkahku. Aku heran,
sebenarnya dengan siapakah aku bersama kini..? malaikat yang menjelma menjadi
manusia, atau manusia yang berusaha mencoba menjadi malaikat..? Hei,
sadarlah..! Kau itu hanya manusia biasa, jangan merasa mampu menjadi malaikat,
tugas malaikat itu berat. Kau takkan mampu mengembannya. Aku tau banyak perih
yang kau rasa dalam hatimu selama menghadapiku. Tapi kau seolah tak hiraukan
itu. Semakin lama aku bersama mu aku semakin tak ingin kehilanganmu. Karna
darimu aku temukan, bahwa masih ada seseorang yang melihatku dari posisi yang
berbeda dari pandangan orang lain.
Meski aku sadar aku takut kehilangan mu, tapi aku juga
masih saja selalu nakal. Entah karna aku yakin bahwa kau tak aka pernah
berontak begitu besar, atau mungkin karna aku selalu saja bisa meyakinkanmu
ketika kau mulai berusaha mengutarakan apa yang kau rasakan. Tapi percayalah,
ketakutan akan kehilanganmu itu benar adanya.
Hingga sampai pada suatu ketika, entah karna kau terlalu
lelah dengan sikapku yang tak berubah atau kau mulai termakan kata-kata orang
kebanyakan itu. Kau berontak, kau begitu murka, murka yang tak pernah kulihat
sama sekali diwajah sendu nan sejuk itu. Kau utarakan semua yang kau rasakan
dengan suara bernada tinggi, namun berakhir isakan yang tak terhenti. Luapan
air mata yang tertahankan mengakir begitu deras dari mata teduh yang selalu
menyejukkan itu. Hingga puncaknya, kau terdiam lalu berkata, “Jika bersamaku
kau tak merasakan bebas, kan kulepas kau. Aku akan pergi. Bukan karna rasa itu
tak ada lagi, aku hanya tak ingin rasa yang kumiliki tak memberimu nyaman
lagi.” Lalu kau berlalu meninggalku yang masih terpaku tak percaya.
Dari kejadian itu aku sengaja mendiamkannya, karna
menunggu perasaan amarah menggebunya mereda. Aku begitu yakin bahwa amarahnya
kemarin itu amarah sesaat yang bisa kembali kuredakan, karna aku tahu bahwa kau
sangat menyayangiku. Namun sminggu berselang tak kudapati juga kau
menghubungiku kembali. Bahkan aku juga tak pernah melihatmu lagi. Sengajakah
kau menghindar..? Ternyata benar, ia menghindar. Aku beranikan diri menemuinya
memastikan bahwa amarahnya telah mereda dan aku dengannya bisa kembali bersama.
Namun ternyata tidak, ia benar-benar dengan semua perkataanya waktu itu. Ia
lelah mengahdapiku yang tak pernah mau mencoba beubah, aku terlalu nyaman
dengan sikapnya yang begitu menrimaku apa adanya. Ternyata aku menyalahi ketulsannya,
kepercayaannya, dan kesabarannya. Masih kuingat kata-katanya “Maaf aku tak bisa
lagi beerada disamping mu sepertu dulu. Karna tak baik untuk hatiku. Aku
sayang, namun aku sadar hatiku juga butuh kusayang.” Dan kau berlalu.
Kini di sini, aku tinggal bersama senja yang kau titipkan
ketika kita bersama dulu. Namun senjanya kali ini kelabu. Entah karna perasaan
kehilanganku atau menggambarkan kondisi hatimu. Tapi aku begitu menyesal
menyia-nyiakan ketulusan dan kesabaran mu yang luar biasa itu. Aku masih
berharap bisa mendapatkan kesempatan kembali untuk mengembalika indahnya jingga
senja kita itu..